Menuju Istana Negara
Seputar tentang para kandidat presiden republik indonesia periode 2009-2014

Peta Politik Pilpres 2009

Pesta demokrasi Pilkada DKI telah usai digelar dengan memunculkan pasangan Fauzi Bowo (Foke) - Prijanto sebagai pemenang. Berdasarkan hasil perhitungan cepat (quick count) diperoleh angka bahwa pasangan Fauzi Bowo-Prijanto memperoleh suara 57,83 persen dan pasangan Adang-Dani memperoleh suara 42,17 persen. Sedangkan Golput sebesar 33,4 persen.

Hasil akhir dari pesta demokrasi di DKI Jakarta sekaligus menegaskan bahwa DKI Jakarta saat ini memiliki gubernur baru yang pertama kali dipilih secara demokratis. Dan, gubernur baru memiliki tingkat legitimasi yang tinggi dari rakyat Jakarta. Dengan demikian, perolehan legitimasi yang tinggi dan demokratis idealnya memberikan kekuatan untuk melakukan yang terbaik bagi rakyat DKI Jakarta.

Penentu Kemenangan

Setelah kemenangan itu, pertanyaannya adalah "mengapa Foke dapat memenangkan dalam Pilkada DKI Jakarta?". Pertanyaan ini menarik mengingat tingginya angka pemilih tetap yang tidak terdaftar dan ancaman golput serta perkiraan adanya pertarungan sengit dua kandidat. Guna menjawab pertanyaan tersebut, terdapat beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kemenangan pasangan Foke-Prijanto tersebut. Yaitu, pertama, dukungan 20 parpol terhadap pasangan Foke-Prijanto. Dalam psikologi politik, meski dukungan bersifat elitis, publik setidaknya terseret arus politik yang dikembangkan elite. Mungkin ceritanya akan berbeda, apabila PKS sebagai partai pengusung pasangan Adang-Dani mampu berkolaborasi dengan beberapa partai yang bergabung untuk menyokong pasangan Foke-Prijanto, sehingga tidak terkesan eksklusif.

Meskipun pada kenyataan mesin politik ke-20 parpol pendukung Foke tidak efektif untuk all out mengerahkan dan memobilisasi kekuatannya, tetapi secara hitungan matematis masih tetap unggul dibandingkan dengan mesin politik PKS yang menyokong pasangan Adang-Dani. Jika mengacu pada hasil Pemilu 2004, idealnya ke-20 parpol penyokong Foke meraih suara sekitar 76 persen, tetapi kenyataannya mereka hanya mampu memperoleh 57,83 persen. Pasangan Foke-Prijanto setidaknya memiliki apa yang disebut sebagai pendukung fanatik partai. Dengan demikian, sekitar 20 persen suara terdistribusi kepada pasangan Adang-Dani dan sebagian menjadi Golput.

Kedua, tingginya partisipasi politik warga DKI Jakarta dalam pilkada, sekitar 66,6 persen, di atas perkiraan sebagian kalangan. Itu secara matematis menguntungkan pasangan Foke-Prijanto. Sebab, pasangan Adang-Dani memiliki massa pendukung militan dan solid, sekitar 25 persen, ditambah mereka yang tidak menghendaki status quo hingga mencapai 42,17 persen. Namun, meski Foke menang, pilkada kemarin pada dasarnya merupakan prestasi bagi PKS.

Ketiga, alasan lain yang memenangkan pasangan Foke-Prijanto adalah dukungan elite partai. Adanya dukungan elite partai baik partai besar dan partai kecil yang tergabung dalam 20 parpol pendukung Foke, dapat menjadi daya tarik publik untuk memenangkan Foke-Prijanto. Selama masa kampanye, publik Jakarta melihat adanya kerukunan elite-elite politik dalam mensukseskan pilkada DKI Jakarta. Artinya, kerukunan elite seakan memberikan jaminan politik terhadap Foke-Prijanto untuk memimpin Ibu Kota pada masa lima tahun ke depan. Hal tersebut menambah kepercayaan publik kepada pasangan Foke-Prijanto. Meskipun warga DKI Jakarta sudah bersikap rasional dalam menentukan pilihannya, tetapi pengaruh elite politik yang terlibat langsung dalam kampanye pilkada juga menjadi "daya magis" bagi publik untuk menyalurkan aspirasinya.

Keempat, pengaruh media massa dan instrumen politik yang digunakan oleh pasangan Foke-Prijanto dinilai sangat berpengaruh terhadap pilihan publik. Hal ini dapat dibuktikan sangat bervariatifnya instrumen yang ditampilkan baik dalam media elektronik, cetak, bahkan instrumen pendukung lainnya. Secara kuantitas maupun kualitas komunikasi, pasangan Foke-Prijanto jauh lebih unggul dibandingkan dengan pasangan Adang-Dani.

Keempat faktor tersebut dilihat dari praktik politik dalam pilkada sangat menentukan kemenangan calon, meskipun dari sisi lain juga terdapat faktor-faktor yang juga berpengaruh, misalnya faktor kultural dan kualitas pribadi. Namun, dalam pilkada lalu, kedua faktor tersebut tampak sangat kecil pengaruhnya, mengingat kedua pasangan calon yang tampil memiliki keterikatan kultur dan kualitas pribadi yang berimbang.

Peta Politik DKI 2009

Pelaksanaan Pilkada DKI yang berjalan demokratis dan aman pada dasarnya merupakan gambaran dari peta kekuatan politik yang bertarung di Ibu Kota. Meskipun terdapat faktor individual yang melekat pada figur kandidat yang bertarung dalam pilkada tersebut, secara kasat mata menggambarkan kekuatan politik dari parpol-parpol yang ada di Jakarta. Dalam perpolitikan di Indonesia, masyarakat kita masih memiliki keterikatan ideologis dengan parpol. Siapa pun calon yang diusung, publik masih melihat bahwa faktor ideologis partai akan ikut memengaruhi pilihan publik.

Secara kasat mata pula sebenarnya hasil Pilkada DKI kemarin menggambarkan konstelasi dan peta politik saat ini. Bahkan akan berlanjut pada peta politik 2009 mendatang. Meskipun peta politik sangat dinamis, tetapi dinamika politik masih terikat dengan ideologi politik dan patron politik. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam peta politik tidak akan berlangsung secara drastis, melainkan melalui proses-proses politik yang berlangsung.

Melihat suara yang didapat dari kedua pasangan calon dengan perincian pasangan Foke-Prijanto yang mendapat 57,83 persen dan pasangan Adang-Dani 42,17 persen, gambaran sementara menunjukkan kekuatan politik PKS semakin solid. PKS yang kita kenal sebagai partai yang sangat militan ternyata mampu mengembangkan sayapnya dengan mencuri sekitar 20 persen suara yang kemungkinan besar berasal dari parpol-parpol lainnya atau dari kalangan yang sangat kecewa dengan parpol pendukung atau Foke sendiri. Sebaliknya, kekuatan politik partai lain belum begitu solid, karena gabungan dari beberapa pendukung Foke ternyata tidak mampu memperoleh angka yang paling optimal, minimal seperti angka yang diperoleh pada Pemilu 2004 yang lalu.

Gambaran sementara peta politik DKI Jakarta itu menunjukkan bahwa parpol-parpol nonPKS mendapatkan tantangan baru untuk bekerja keras membenahi dirinya mambangun kembali citranya dan memainkan mesin politiknya dengan maksud menarik kembali suara yang tercecer dalam Pilkada tersebut. Pertanyaannya adalah mampukah parpol untuk membenahi diri menghadapi Pemilu 2009, terutama setelah calon perseorangan memiliki dasar hukum? Kita lihat saja
0 comments:

Post a Comment

Lintas Berita

© Copyright 2009 by Bajang-Gerung Blog Pilpres 2009    

ShoutMix chat widget